Shusho Miyahira, Perwira Jepang yang Berbalik Berjuang Buat Indonesia
Oleh Kurator Kata | Newsroom Blog – Sen, 25 Agu 2014Berbagai buku bertema sejarah, biografi, maupun memoar yang terbit di Indonesia menyebut, jauh sebelum masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, sudah banyak orang Jepang di Hindia Belanda. Sebagian ternyata mata-mata Jepang yang memang merencanakan merebut Indonesia dari penguasaan Belanda.
Sudah menjadi anggapan umum juga bahwa penindasan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, meski lebih singkat dari Belanda, justru lebih berat. Ternyata salah satu mata-mata yang dikirim Jepang, Shusho Miyahira, tak setuju dengan gaya pendudukan negaranya di Indonesia.
Miyahira akhirnya berbalik membela Indonesia. Kisah Miyahira ini ditulis dalam buku Ragi Carita 2 yang ditulis Th. van den End dan J. Weitjens.
Berikut ini nukilan buku itu:
Shusho Miyahira selama 12 tahun menetap di Surabaya sejak 1927. Di masa pendudukan Belanda itu, Miyahira dikenal sebagai pendeta gereja orang-orang Jepang di Jawa Timur.
Pada 1939, Pemerintah Hindia Belanda mengusir Miyahira. Dia dianggap mata-mata Jepang dan dipulangkan ke negaranya.
Sejarah mencatat, kondisi berbalik setelah Jepang membombardir pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 1941. Setelahnya Jepang merangsek ke Indonesia dan dalam waktu cepat Hindia Belanda dikuasai.
Jepang membagi Indonesia menjadi dua wilayah. Jawa dan Sumatera jadi wilayah Angkatan Darat, sementara selebihnya dipegang Angkatan Laut.
Miyahira juga kembali ke Indonesia pada 1942. Namun kali ini pria yang fasih berbahasa Indonesia ini datang sebagai perwira Angkatan Laut Jepang.
Miyahira ditugasi di Minseibu, pemerintahan sipil di bawah Angkatan Laut yang memegang wilayah mulai dari Kalimantan dan terus ke ke arah timur Indonesia. Miyahira jadi sekretaris Gubernur Sulawesi di Makassar.
Merangkap jabatan sebagai Kepala Kantor Agama, Miyahira ditugasi mengendalikan penduduk wilayah kekuasaan Minseibu yang beragama Kristen atau Katolik agar mengabdi pada Jepang. Seperti halnya yang dilakukan di Jawa kepada para ulama, pemuka agama di Indonesia timur juga didesak menyebarkan propaganda dukungan terhadap perang Jepang di Asia.
Pengajaran yang berbeda akan dianggap pengkhianatan dan Kempetai, polisi militer Jepang, akan menciduk “para pembangkang” itu. Di timur, Kempetai terutama mencurigai mereka yang beragama sama dengan orang-orang Eropa sebagai mata-mata Belanda. Mereka akan meringkus siapa saja yang berperilaku atau menyimpan benda-benda yang mengingatkan kepada Belanda.
Kecurigaan itu yang membuat pembunuhan marak terjadi. Penduduk Kepulauan Babar di Maluku, misalnya, nyaris tak tersisa akibat pembantaian oleh Jepang.
Pembunuhan serupa, ditambah perampasan harta benda, juga terjadi di Sulawesi, Maluku, hingga ke Papua. Bahkan di Sangir, hampir semua raja-raja di sana dibunuh.
Tapi eksekusi demi eksekusi itu bukan saja untuk mematikan pengaruh Belanda, tapi juga pemberangusan ide kemerdekaan di Indonesia Timur. Saat itu, di beberapa daerah seperti di Minahasa, penduduknya sudah memeluk nasionalisme Indonesia.
Diam-diam, Miyahira dan rekan-rekannya yang datang menyusul ternyata tak sepenuhnya setuju dengan penindasan terhadap orang Indonesia itu. “Seringkali mereka melindungi orang dari tindakan penguasa Jepang,” kata Th. van den End.
Misalnya di Maluku, tentara Jepang mengumpulkan gadis-gadis di sana buat dijadikan pemuas nafsu birahi mereka. Ryoichi Kato yang ditugasi Minseibu jadi pendeta di Ambon pun mati-matian melindungi para gadis-gadis di sana agar tak dijadikan budak seks tentara alias Jugun Ianfu.
Para “pendeta propaganda” ini memang tetap menyampaikan propaganda seperti Asia Baru dan Jepang Cahaya Asia yang akan mensejahterakan Indonesia. Tapi mereka juga menyelipkan ajaran bahwa kesejahteraan sejati itu hanya di dalam kemerdekaan dan Tuhan.
Saat Jepang dikalahkan pasukan sekutu dan tentaranya meninggalkan Indonesia, rekan-rekan Miyahira ikut pulang. Namun Miyahira justru bertahan di Indonesia. “Miyahira malah berjuang bersama Angkatan Laut Republik Indonesia selama perang mempertahankan kemerdekaan,” kata van den End.
Komentar
Posting Komentar