Langsung ke konten utama

Hak menguji perundangan-undangan

Hak Menguji Perundang-undangan

HAK MENGUJI suatu peraturan perundang-undangan tentu sudah pernah terdengar di telinga  para pembaca sekalian. Apalagi dengan maraknya berbagai permasalahan hukum dewasa ini, dimana "Hak Menguji" ini digunakan para pihak yang berkepentingan dalam mengkritisi peraturan perundangan yang dinilai menyimpang. Seperti apa penyimpangan dimaksud? dan apa itu hak menguji?
Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya.
Dari beberapa sumber yang saya dapat, hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu:
1. Hak Menguji Secara Formil (Formele Toetsingrecht)
Hak Menguji Secara Formil (Formele Toetsingrecht) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara pengundanganya sudah sebagaimana mestinya.
Secara singkat Hak Menguji secara Formil ini dapat dicontohkan : Dalam pembentukan suatu PERDA (Peraturan Daerah) salah satu pihak, baik DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), Bupati atau Gubernur tidak dilibatkan maka secara formil telah menyalahi aturan. Karena PERDA merupakan produk hukum bentukan DPRD+Bupati/Gubernur.

2. Hak Menguji Secara Materil (Materiele Toetsingrecht)
Hak Menguji Secara Materil (Materiele Toetsingrecht) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang atau Peraturan pPrundang-undangan lainnya Isinya bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang atau Peraturan Perundangan yang lebih tinggi tingkatannya/dasar hukumnya.
Penerapan Hak Menguji Secara Materil ini ialah pada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
MA memiliki Hak Menguji secara Materil berupa Judicial Review, yaitu menguji peraturan dibawah Undang-Undang agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
MK memiliki Hak Menguji secara Materil berupa Constitutional Review, yaitu menguji setiap peraturan perundangan dibawah Undang-Undang Dasar agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar '45.
A. Pengertian dan jenis-jenis hak menguji :
1). Pengertian hak menguji Pertama, terlebih dahulu kita posisikan tentang istilah atau term dari judicial review itu sendiri. Sebab ahli hukum pada umumnya acapkali terjebak dalam penggunaan istilahconstitutional review, judicial review dan hak menguji (toetsingsrecht).
Konsepsi judicial review hadir dalam kerangka objek yang lebih luas, dibandingkan dengan konsep contstitutional review, yang hanya sebatas pengujian konstitusional suatu aturan hukum terhadap konstitusi (UUD), sedangkan judicial review memiliki objek pengujian yang lebih luas, bisa menyangkut legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU, tidak hanya sekedar UU terhadap UUD. Akan tetapi, pada segi subjek pengujinya, makna judicial review mengalami penyempitan, sebab judicial review hanya dapat dilakukan melalui mekanisme peradilan (judiciary), yang dilaksanakan oleh para hakim.
Sedangkan jika constitutional reviewsubjek pengujinya dapat dilaksanakan oleh lembaga pengadilan (judicial review), lembaga legislative (legislative review), lembaga eksekutif(executive review), atau lembaga lainnya yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemberian hak uji inilah yang menjadi pengertian dari toetsingsrecht. Judicial review hanya berlaku jika pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara “a posterior,” artinya norma hukum tersebut telah diundangkan oleh pembentuk UU.
Apabila diartikan kata per kata tanpa mengaitkannya dengan sistem hukum tertentu,
• toestingrecht : Toesting (menguji dalam bahasa belanda), recht (hukum/hak). Toestingrecht berarti hak atau kewenangan untuk menguji tergantung kepada sistem hukum di tiap-tiap negara masing-masing untuk diberikan kepada siapa atau lembaga mana. (orientasinya ialah ke kontinental Eropah (Belanda dan Jerman), sedangkan
• judicial review berarti pengujian oleh lembaga pengadilan (orientasinya ialah ke AS) Sehingga pada dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judcial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan yaitu hakim.
1. Hak Menguji (Toestingrecht) Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji (toestingrecht) yaitu :
a. Hak menguji formal (formele teotsingrecht) : wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hak menguji formal adalah : wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo. 20 ayat (2) Amandemen UUD 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas. Demikian pula Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota. Suatu produk hukum tidak dapat disebut Peraturan Daerah (Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya.
b. Hak menguji material (materiele toestingrecht) : suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, (lex superior derogate lex infriore), serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Menurut Prof Harun Alrasid, hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan undang-undang, dan hak menguji ialah mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. hak menguji (totsingrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD
2. hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain hak menguji oleh hakim, juga terdapat hak menguji yang dimiliki oleh legislatif dan hak menguji yang dimiliki oleh eksekutif.
Ketetapan MPR No. XX/MPR/1966 disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945
2.  Ketetapan MPR
3.  Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4.  Peraturan Pemerintah
5.  Keputusan Presiden
6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti: – Peraturan Menteri – Instruksi Menteri – Dan lain-lainnya
Tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Ketetapan MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut.
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah, yang meliputi: – Peraturan Daerah Provinsi – Peraturan Daerah Kabupaten/Kota – Peraturan Desa.



2. Jenis-jenis hak menguji :
Dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu:
1. Pengujian oleh badan peradilan (judicial review)
2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan
3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).
Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak bertentangan dengan UUD sebagai “the supreme law.” Dalam hal ini, agar UUD dapat dilindungi atau terproteksi, maka keberadaan hak menguji materiil sebagai bagian dari “the guarentees of the constitution.” UUD sebagai hukum tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Secara a contario peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak boleh menyimpangi, bertentangan atau tidak konsisten dengan UUD. Keberadaan hak menguji materiil pada hakekatnya berupa alat kontrol atau pengendali terhadap kewenangan suatu peraturan perundang-undangan, jika ada pendapat menyatakan hak menguji materiil berkaitan dengan konsep trias politika adalah suatu kekeliruan. Dalam konsep trias politika, khususnya konsep “seperation of power,” fungsi satu badan tidak dibenarkan melakukan “intervensi” tehadap badan lain. Keberadaan hak menguji materiil adalah koreksi terhadap konsepsi “seperation of power,” keberadaannya lebih relevan dengan konsepsi “chek and balances,” yaitu agar suatu badan tidak melewati kewenangannya.
Kesimpulan : dari definisi tersebut dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi hak menguji (toestingrecht) yang dikemukakan merupakan pengujian pada negara yang menganut civil law system atau Sistem Hukum Eropa Kontinental : Artinya adalah menurut sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai dasar berlakunya hukum dalam suatu negara. (negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda). Pada negara yang menganut civil law system, hak menguji yang dimiliki hakim hanya dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan karena terhadap tindakan administrasi negara diadili oleh peradilan administrasi (PTUN).
2. Judicial review Definisi dari judicial review sebagai berikut :
a). Judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus konkret dipengadilan
b). Judicial merupakan kewengan hakim untuk menilai apakah legislatif acts, executive act dan administrasi action bertentangan atau tidak dengan UUD (tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan). Di negara yang menganut sistem common law system tidak dikenal adanya suatu peradilan khusus yang mengadili pegawai adminitrasi negara sebagaimana dalam civil law system. Oleh karena itu, terhadap tindakan administrasi negara diadili di peradilan umum. Hal itu menyebabkan pada negara yang menganut common law system hakim berwenang menilai tidak hanya peraturan perundang-undangan, tapi juga tindakan administrasi negara pada UUD. Pelaksanaan judicial review pada beberapa negara yang menganut common law system dilakukan oleh hakim melalui kasus kongkret yang dihadapi dalam pengadilan.
B. Pengujian Peraturan perundang-undangan
1. Pengujian norma hukum
Dalam praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu : a. keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling) b. keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking) c. keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman/vonis (judgmenet) ketiga bentuk norma hukum tersebut diatas sama-sama dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justicial) ataupun mekanisme non justicial. Jika pengujiannya itu dilakukan oleh lembaga peradilan, maka proses pengujiannya itu disebut sebagai judicial review atau pengujian oleh lembaga judisial atau pengadilan. Akan tetapi, jika pengujian itu dilakukan bukan oleh lembaga peradilan, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai judicial review. Sebutannya yang tepat tergantung kepada lembaga apa kewenangan untuk menguji atau toestingrecht itu diberikan. Toetsingrecht atau hak untuk menguji itu, jika diberikan kepada parlemen sebagai legislator, maka proses pengujian itu disebut legislative review, sedangkan jika diberikan kepada pemerintah, maka disebut executive review. Ketiga bentuk norma hukum tersebut di atas, ada yang merupakan individual and concrete norms (Vonis dan beschikking) dan ada pula yang merupakan general and abstract norm (regeling).
2. Review dan Preview
Dalam konsep pengujian UU, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial preview. Review berarti memandang, menilai atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu. Dalam hubungannya dengan objek UU, dapat dikatakan bahwa saat ketika UU belum resmi atau sempurna sebagai UU yang mengikat untuk umum, dan saat ketika undang-undang itu sudah resmi menjadi undang-undang adalah dua keadaan yang berbeda. Jika UU itu sudah sah sebagai UU, maka pengujian atasnya disebut judicial review. Sebaliknya jika statusnya masih sebagai rancangan UU (RUU) dan belum diundangkan secara resmi sebagai UU maka pengujian atasnya disebut judicial preview. Dalam sistemPerancis, yang berlaku adalah judicial preview, karena yang diuji adalah RUU yang sudah disahkan oleh parlemen, tetapi belum disahkan dan diundangkan sebagaimana mestinya oleh Presiden. Jika parlemen sudah memutuskan dan mengesahkan suatu RUU untuk menjadu UU, tetapi kelompok minoritas menganggap rancangan yang telah disahkan itu sebenarnya bertentangan dengan konstitusi, maka mereka dapat mengajukan RUU itu untuk diuji konstitusionalitasnya di la Counseil Constitusionnel atau Dewan Konstitusi. dewan inilah yang akan memutuskan apakah RUU bertentangan atau tidak dengan UUD. Jika bertentangan maka tidak bisa disahkan sebaliknya jika RUU tidak bertentangan maka dapat disahkan menjadi UU yang bersifat mengikat.
3. Konstitusionalitas UU
Pengujian konstitusionalitas UU adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas UU itu baik dari segi formal ataupun material. Karena itu pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu harus dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas. Dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 jelas ditentukan bahwa : Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dan..” Dalam rangka pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU, alat pengukur untuk menilai atau dalam menjalankan kegiatan pengujian itu adalah UU, bukan UUD, seperti di MK. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan UU, bukan pengujian konstitusionalitas menurut UUD 1945. Objek yang diuji pun jelas berbeda. MA menguji peraturan dibawah UU, sedangkan MK hanya menguji UU saja, bukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah UU. Disamping itu, persoalan kedua yang penting dicatat sehubungan dengan konsep pengujian konstitusionlaitas ini adalah persoalan cakuan pengertian konstitusionalitas itu sendiri. Apakah yang menjadi alat pengukur untuk menilai atau menguji sesuatu UU itu itu, secara materiil atapun formil, dapat dikatakan konstitusional, inkonstitusional atau ekstrakonstitusional? Apakah konstitusi itu dapat diidentikan dengan pengertian UUD (grondwet atau gerundgesetz)? Konstitusi jelas tidak identik dengan naskah UUD.Inggris adalah contoh yang paling mudah untuk disebut mengenai negara yang tidak mempunyai naskah konstitusi dalam arti yang tertulis secara terkodifikasi seperti umumnya negara lain di dunia. Akan tetapi, semua ahli sepakat menyebut Kerajaan Inggris sebagai salah satu contoh negara berkonstitusi. Artinya, konstitusionalitas itu tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah UUD. Karena itu,dalam penjelasan UUD 1945 yang asli, terdapat uraian yang menyatakan bahwa UUD itu hanyalah sebagian dari konstitusi yang tertulis. Di sampng konstitusi yang tertulis itu masih ada konstitusi yang tidak tertulis, yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai hidup dalam praktek-praktek ketatanegaraan. Oleh karena itu, untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu UU, kita dapat mempergunakan beberapa alat pengukur atau penilai, yaitu : i). naskah UUD yang resmi tertulis ii). Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah-naskahUUD itu, seperti risalah-risalah, keputusan dan ketetapan MPR, UU tertentu, peraturan tata tertib dll iii).Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaran yang telah dianggap sebagaobagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalampenyeleanggaraan kegiatan bernegara iv). Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalamperikehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian,pengertian konstitusionalitas itu bukanlah konsep yang sempit yang hanya terpaku kepadaapa yang tertulis dalam naskah UUD 1945 saja. Keempat hal tersebut adalah termasuk ke dalam pengertian sumber dalamkeseluruhan tatanan hukum tata negara atau constitusional law yang dapat dijadikan alat pengukur atau penilai dalam rangka pengujian konstitusionalitas suatu UU.
4. Objek Pengujian norma hukum
a) Pengertian Umum
Secara umum norma hukum itu dapat berupa keputusan-keputusan hukum :
i). Sebagai hasil kegiatan penetapan (menetapkan) yang bersifat administratif (beschikking)
ii). Sebuah hasil kegiatan penghakiman (menghakimi/mengadili) berupa vonnis oleh hakim
iii). Sebagai hasil kegiatan pengaturan (mengatur)/regeling, baik yang berbentuk legislasi berupa legislative act ataupun yang berbentukregulasi berupa exeutive act.
Sebelum ditetapkannya UU No.10 /2000 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak dibedakan antara penggunaan istilah-istilah hukum yang saling tumpang-tindih satu sama lain. Istilah keputusan lazim dipakai, baik untuk norma hukum yang bersifat regeling maupun beschikking. Misalnya, Keputusan Presiden ada yang bersifat regeling, dan ada pula yang bersifat beschikking. Demikian pula, Gubernur, Bupati, Walikota dan lembaga-lembaga negara seperti KPU tersbiasa menggunakan sebutan Keputusan, baik untuk produk-produk pengaturan maupun untuk penetapan-penetapan yang bersifat adminsitratif (beschikking). Namun, setelah diundangkannya UU No 10 Tahun 2004 tersebut,penggunaan kedua istilah tersebut dibedakan dengan tegas. Peraturan merupakan produk pengaturan (regeling), sedangkan keputusan merupakan produk penetapan yang bersifat administratif (beschikking) Ketiga bentuk norma hukum tersebut di atas, yaitu produk peraturan (regels), keputusan Beschikking) dan pengahkiman putusan (Vonis), sama-sama dapat diuji secara hukum. Secara umum, istilah pengujian atau peninjauan kembali itu dalam bahasa inggrisnya adalah review, yang apabila dilakukan oleh hakim disebut sebagai judicial review. Misalnya,pengujian hakim banding atas putusan tingkat pertama, pengujian kasasi atas putusan banding, ataupun peninjauan kembali atas putusan kasasi juga biasa disebut sebagai judicial review. Khusus untuk pengujian atas peraturan sebagai produk pengaturan atau regeling, jika dilakukan oleh lembaga yang membuatnya sendiri maka pengujian tersebut disebut sebagai legislative review atau regulative review. Jika perangkat hukum yang diuji itu merupakan produk lembaga legislatif (legislative acts), maka pengujiannya dilakukan melalui proses legislative review, jika perangkat hukum yang diuji itu merupakan produk regulatif, maka pengujiannya dilakukan melalui proses executive review atau regulative review. Contoh : Perda diuji dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
Perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam hal ini adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur (regulasi) itu dari produk legislasi yang bersangkutan, Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh Pemerintah karena mendapatkan persetujuan delegasi kewenangan pengaturan dai UU sebagai produk legislatif DPR dan Presiden. Bank Indonesia diberi kewenangan oleh UU tentang Bank sentral untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia sebagai bentuk regulasi dalam rangka pelaksanaan UU. Misalnya, UU dan Perda dapat disebut sebagai produk legislasi.KPU yang diberi kewenangan regulasi oleh UU tentang Pemilu menetapkan keputusan-keputusan yang bersifat mengatur. Maka produk-produk pengaturan oleh KPU inilah dapat disebut sebagai produk legislasi. Karena itu di Amerika Serikat dibedakan antara legislative act dan executive acts. Yang pertama adalah akta legislatif atau peraturan sebagai produk legislatif, sedangkan yang kedua adalah akta eksekutif atau peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh badan eksekutif sebagai pelaksana produk legislasi tersebut. Dengan demikian, objek pengujian itu sendiri cukup luas cakupan pengertiannya. Namun, yang dimaksud di sini dibatasi hanya dalam konteks pengujian produk peraturan saj. Hal inipun perlu dibedakan lagi antara produk legislatif dan regulaitif. Antara legislative acts dan exekutif acts. Bahkan dalam sistempengujian peraturan di Indonesia berdasarkan Pasal 24A jo Pasal 24C UUD 1945, juga perlu dibedakan antara UU dan peraturan di bawah UU. Pengujian konstitusionalitas UU dilakukan oleh MK, sedangkan pengujian legalitas peraturan dibawah UU oleh MA.
Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht), yaitu:
1.    hak menguji formil (formele toetsingsrecht)
2.    hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht). 
Yang dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. 
Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo. 20 ayat (2) Amandemen UUD 1945).
Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas.
Demikian pula Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Peraturan Daerah (Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya. 
Maka, apabila suatu peraturan yang diberi nama undang-undang ditetapkan tidak menurut cara-cara (procedure) yang telah ditentukan, hak menguji dapat dilakukan. Hak menguji demikian itu disebut dengan hak menguji formal (formale toetsingsrecht)
Yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil berkenaaan dengan isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. 
Dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu :
1.    Pengujian oleh badan peradilan (judicial review).
2.    Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan
3.    Pengujian oleh Pejabat atau Badan Administrasi Negara (administrative review).

Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen mengatur hal baru dalam hal kekuasaan kehakiman, antara lain pengaturan tentang kewenangan hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat 1) dan diaturnya kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU (Pasal 24A ayat 1). 
Di dalam praktek dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji, yaitu : 
1.    Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regelling);
2.    Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan admnistratif (beschikking);
3.    Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis.
Ketiga bentuk norma tersebut dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justisial) atau non justisial, jika dilakukan oleh lembaga peradilan maka proses pengujiannya disebut judicial review. Jika bukan dilakukan oleh lembaga judicial maka tergantung kepada lembaga apa kewenangan untuk menguji atau toetsingsrecht itu diberikan. 

Toetsingsrecht atau hak menguji itu jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai legislator, maka proses pengujian itu disebut legislative review. Jika hak menguji diberikan kepada pemerintah maka disebut executive review. Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak bertentangan dengan UUD sebagai "the supreme law."
Dalam hal ini, agar Undang-Undang Dasar dapat dilindungi atau terproteksi, maka keberadaan hak menguji materiil sebagai bagian dari "the guarentees of the constitution." UUD sebagai hukum tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pmbentukan Peraturan Perundang-undangan, telah dibedakan dengan tegas dan jelas antara penggunaan istilah Peraturan dan Keputusan. Peraturan merupakan produk pengaturan (regeling), sedangkan keputusan merupakan produk penetapan yang bersifat admnistratif (beschikking). 

Prof. Muchsan dalam kuliah umum Politik Hukum pada Magister Kenegaraan UGM, mendefinisikan Peraturan sebagai produk hukum yang mempunyai daya ikat terhadap sebagian / seluruh penduduk wilayah negara, dalam hal ini kata sebagian tidak menunjuk jumlah tapi kebulatan suatu wilayah. Contohnya, Peraturan Daerah yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DIY, mengikat warga yang berdomisili dan berada di wilayah Provinsi DIY (sebagian penduduk Indonesia). 

Pengujian atas peraturan sebagai produk pengaturan atau regeling, jika dilakukan oleh lembaga yang membuatnya sendiri maka pengujian semacam itu disebut legislative review atau regulative review. Jika perangkat hukum yang diuji itu merupakan produk lembaga legislatif (legislative acts) maka pengujiannya dilakukan melalui proses legislative review. Jika perangkat hukum yang diuji itu merupakan produk lembaga regulatif (regulative or executive acts) maka pengujiannya dilakukan melalui proses executive review atau regulative review. 
Perbedaan antara legislasi dan regulasi adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui Pemillihan Umum. Sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan utk mengatur (regulasi) itu dari produk legislasi yang bersangkutan. 
Dalam Pasal 145 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden. Selanjutnya, Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Mendagri dapat membatalkan Peraturan Daerah Provinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD. 
Mekanisme peninjauan atau pengujian oleh Mendagri dapat dikategorikan sebagai executive review, yaitu mekanisme pengujian Peraturan Daerah oleh Mendagri selaku pejabat eksekutif tingkat pusat. Pengujian yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (eksekutif) terhadap Peraturan Daerah tersebut, merupakan salah satu bentuk pengawasan terhadap implementasi otonomi daerah, yaitu agar kebijakan daerah yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terutama terhadap UUD 1945.
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah, jelas merupakan Peraturan yang tingkatannya berada di bawah UU, yang apabila diuji dengan menggunakan ukuran UU pengujinya adalah Mahkamah Agung. Namun Perda tidak dapat disebut sebagai produk regulatif atau executive act seperti halnya Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden. Peraturan Daerah, seperti halnya UU adalah produk legislative (legislative acts). Peraturan Pemerintah Pengganti UU / PERPPU, sebagai peraturan yang bersifat sementara, tidak dapat diuji, baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun oleh Mahkamah Agung. 
PERPPU adalah produk hukum yang merupakan objek pengujian oleh DPR sebagai lembaga pembentuk UU. Dengan kata lain terhadap PERPPU tidak dapat dilakukan judicial review oleh hakim, melainkan hanya dapat dilakukan legislative review oleh DPR. Jika PERPPU diuji oleh Mahkamah Agung, sudah pasti norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan UU yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan apabila diuji oleh Mahkamah Konstitusi, PERPPU tersebut belum mendapat persetujuan DPR dan belum disahkan menjadi UU, sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji peraturan yang berbentuk UU. Sehingga dalam hal ini, terhadap PERPPU hanya dapat dilakukan legislative review oleh DPR.
Sering kita salah kaprah memahami istilah Judicial Review danToetsingsrecht, kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama dalam bahasa Indonesia yaitu Pengujian Ulang atau kemudian lebih dikenal dengan istilah Hak Uji.[1])  
Perbedaannya ialah istilah Judicial Review digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law, sedangkan istilah Toetsingsrecht digunakan oleh negara-negara yang menganut sistemcivil law. Di Indonesia apa yang dikenal sebagai Hak Uji sering diartikan sebagai Judicial Review padahal yang lebih tepat adalah sebagaiToetsingsrecht.[2]) 

Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam hak uji (toetsingsrecht):
a.    Hak Uji Formal yaitu wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
b.    Hak Uji Materil yaitu suatu hak atau wewenang yang dimiliki oleh lembaga yudikatif untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenendemacht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Secara singkat menurut Harun Alrasid, dapat diartikan bahwa Hak Uji Formal adalah mengenai prosedur pembuatan Undang-undang, dan Hak Uji Materil adalah menyangkut kewenangan pembuat Undang-undang dan apakah isinya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.[3])
Hak Uji Materil dapat digolongkan menjadi dua macam:
1.    Hak Uji Materil atas Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24-C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi);
2.    Hak Uji Materil atas peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang (seperti: PP, Keppres, Perda, dsb.) terhadap Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, menjadi wewenang Mahkamah Agung (vide Pasal 24-A ayat (1) juncto Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung juncto Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999, dan terakhir dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004).

B.      Subjek dan Objek Permohonan Hak Uji Materil
1.    Pemohon Hak Uji Materil adalah kelompok masyarakat atau perorangan.
2.    Termohon Hak Uji Materil adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dimohonkan hak uji materil.
3.    Objek Hak Uji Materil adalah peraturan perundang-undangan yang mengikat umum (bukan ditujukan atau bersifat individual)


C.        Prosedur Permohonan Hak Uji Materil
1.    Untuk permohonan hak uji materil yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi, diajukan langsung ke Mahkamah Konstitusi.
2.    Untuk permohonan hak uji materil yang ditujukan kepada Mahkamah Agung:
a.    Dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung;
b.    Dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara diwilayah hukum kedudukan Pemohon, untuk selanjutnya akan diteruskan kepada Mahkamah Agung;
c.   Jika terkait dengan kasus tata usaha negara, maka melalui gugatan tata usaha negara biasa.

D.       Alasan Permohonan Hak Uji Materil
1.    Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi;
2.    Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

E.  Putusan Hak Uji Materil oleh Mahkamah Agung dan Pelaksanaannya:
1.    Jika permohonan hak uji materil dikabulkan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum, serta diperintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabutnya.
2.    Pemberitahuan isi putusan serta salinan putusan Mahkamah Agung dikirimkan dengan surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, maka penyerahan atau pengiriman salinan putusan dilakukan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
3.    Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan, petikan putusan hak uji materil dimuat/dicantumkan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara.
4.    Dalam jangka waktu 90 (sebilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung dikirimkan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
5.    Terhadap putusan hak uji materil tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Mengenai hak menguji ini, kalau kita hubungkan dengan pasalo-pasal dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945, maka tidak jelas bagi kita apakah mahkamah agung menurut undang-undang dasar 1945 itu menganut prinsip hak menguji materil karena hal ini tidak ada ketentuannya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 ataupun dalam penjelasannya.
Kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang dasar 1945 hanya terdiri dari dua pasal saja yaitu mengenai :

1. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain badan kehakiman, (Pasal 24).

2. hanya mengatur mengenai syarat-syarat untuk menjadi hakim (Pasal 25).

Begitu pula didalam penjelasan dari kedua pasal itu tidak menerangkan, yang diterangkan di dalam penjelasan itu hanya mengenai bahwa kekuasaan kehakiman itu ialah kekuasan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.

Dengan tidak adanya penegasan mengenai hak uji dari mahkamah agung. Maka timbul bebarapa anggapan atu dapat menimbulkan anggapan bahwa dengn tidak adanya penegasan hak menguji tersebut berarti mahkamah agung menurut undang-undang dasar 1945 mempunyai hak menguji materil, atau anggapan lain berpendapat dengan tidak adanya penegasan tersebut berarti mahkamah agung menurut undang-undang dasar 1945 hanya mempunyai hak menguji formil saja.

Mengenai hak uji ini terdapat beberapa macam pendapat yang berlaku dalam beberapa negara seperti negara belanda, amerika serikat, perancis, inggris dan lain sebagainya.

Menurut ketentuan konstitusi negeri belanda Pasal 142 Ayat (2) Undang-undang tidak bisa di ganggu gugat. Artinya selama undang-undang tidak dicabut atau tidak dirobak oleh pembentuk undang-undang sendiri, ia tetap berlaku walau isinya bertentangan dengan undang-undang dasar dan tidak ada suatu pengadilan tertinggi di negeri belanda yang berhak menyatakan tidak sah dan tidak berlaku. Berbeda halnya dengan keadaan diamerika serikat. Supreme court dapat menyatakan suatu undang-undang tidak sah dan tidak berlaku jika isinya itu bertentangan dengan undang-undang dasar Amerika Serikat.

Seorang Chief Justice terkenal dari Amerika Serikat. Marshall namanya pernah berkata sebagai berikut : “Adalah terang bahwa pembentukan suatu konstitusi tertulis bermaksud mengadakan suatu hukum dasar dan tertinggi dari negara, yang konsekwensinya ialah bahwa suatu tindakan dari kekuasaan legislatif yang bertentangan dengan konstitusi itu adalah batal.”


Jika menurut Undang-undang Dasar negeri belanda pasa 124 ayat 2 menyatakan bahwa undang-undang tidak bisa diganggu gugat, maka begitulah juga berlaku di indonesia pada waktu itu sebagai jajanan dari negeri belanda. Menurut pasal 130 ayat 2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Seriakat dan pasal95 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara (1950) juga terdapat ketentuan sperti tersebut diatas, dan menurut Wirjono Prodjodikoro hal itu dapat dimengerti karena Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat itu dibentuk sebagai hasil kerja sama dengan wakil-wakil kerajaan belanda dan juga undang-undang dasar 1950 itu hakekatnya hanya merobah negara Federal menjadi negara Kesatuan.


Untuk mengetahui apakah mahkamah agung menurut undang-undang dasar 1945 mempunyai hak menguji materil ataukah hak menguji formil, naka sebaiknya kita harus melihat “niat” pembentuk undang-undang dasar itu, dan hal ini kalau kita lihat di dalam sejarah ketatanegaraan kita yaitu tepatnya pada waktu Rapat Panitia Persipan Kemerdekaan Indonesia bersidang untuk membentuk Undang-undang Dasar 1945, maka rapat pada waktu itu telah menolak usul daro Moh. Yamin, SH yang menghendaki agar mahkamah agung mempunyai wewenang untuk memutus dan menentukan suatu perundang-undangan bertentangan dengan Undang-undang dasar 1945 atau hukum adat atau hukum syari’ah.

Dari apa yang ditemukan diatas, kita mengetahui bahwa “niat” dari pembentuk undang-undang dasar 1945 itu tidak menghendaki mahkamah agung mempunyai hak menguji materil. Kalau kita lihat pula dalam undang-undang no. 14 tahun 1970 yaitu undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dimana pada pasal 26 ayat 1 nya menegaskan
:
“Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan pertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.”


A. Mengenai Kekuasaan Kehakiman ( Peradilan ), UUD 1945 menetapkan :

Pasal 24 :
1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung
dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
dengan undang-undang
Pasal 25 : Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Negara RI adalah negara hukum, oleh karena itulah hukum harus ditegakkan. Tugas untuk menjamin ketertiban hukum, diserahkan kepada mahkamah agung dengan badan peradilan lainnya. Untuk menjamin objektifited, maka mahkamah agung dan badan peradilan lainnya harus merdeka dari pengaruh kekuasaan lainnya.

Mahkamah agung merupakan badan peradilan tertinggi, walaupun mahkamah agung bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, bukanlah berarti tidak ada kerja sama antar lembaga-lembaga negara. Mahkamah agung dan lembaga lainnya adalah lembaga negara yang bergerak dilapangan yang bersifat tehnis-yuridis dari semua bidang hukum.

Mahkamah agung adalah peradilan kasasi dan mengawasi peradilan bawahan lainnya. Kepada mahkamah agung mungkin pula untuk diberikan wewenang menguji keserasian peraturan hukum, baik secara formil maupun materil.

Mengenai hak menguji atas peraturan hukum dari MA atau lembaga-lembaga negara lainnya sebenarnya UUD 1945 tidak mengatur secara tegas. Dalam hal ini kita harus menafsirkan UUD 1945 secara keseluruhan, baik dari ketentuan-ketentuannya itu sendiri maupun dari sistem atau landasan yang dianut.

Dalam keterangannya sewaktu menjelaskan rancangan undang-undang dasar pada tanggal 15 juli 1945 Prof. Soepomo a.l berkata :
“ Pertama tentang yang dikehendaki oleh tuan yamin supaya ditetapkan, bahwa mahkamah agung berhak menetapkan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar. Sistem demikian itu memang ada, yaitu di amerika dan juga di negeri jerman pada zaman konstitusi weimar, jadi direpublik jerman sesudah perang dunia. Ada juga di negeri australia, di cukeslovakia sesudah perang dunia ke satu. Juga di australia, tetapi sistem itu tidak ada diperancis, tidak ada di inggris, tidak ada di belanda, di dai nippon juga tidak ada. Tetapi kita harus mengetahui apa arti sistem itu. Sistem yang dipakai didalam negeri belanda berdasarkan materieel recht yaitu suatu konsekwensi dari pada sistem trias polition yang memang di amerika betul-betul dijalankan dengan sempurna.

Juga di Fhilipina, oleh karena undang-undang dasarnya memang berdasar atas model sistem amerika, yaitu dalam pengertian negara yang berdasarkan atas liberalesdemocratie, yang memisahkan badan-badan penyelenggara semuanya sebagai kesempurnaan sistem itu memang sudah selayaknya mahkamah agung, yaitu pengadilan tertinggi mempunyai hak seperti yang di anjurkan oleh tuan yamin. Akan tetapi di negeri democratie perbedaan atau perpisahan antara tiga jenis kekuasaan itu tidak ada. Menurut pendapat saya, tuan ketua dalam rancangan undang-undang dasar ini kita memang tidak memakai sistem yang membedakan perinci pieel 3 badan itu, artinya tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Memang maksud sistem yang di ajukan oleh yamin ialah supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan undang-undang.
Pertama, dari buku-buku ilmu negara ternyata antara para ahli tata negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu, ada yang pro, ada yang contra control. Apa sebabnya ?

Undang-undang dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interprestasi demikian. Bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi dalam praktek, jikalau ada perselisihan soal apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis. Oleh karena itu mungkin, dan disini dalam praktek begitu ada konflik antara kekuasaan suatu undang-undang dan undang-undang dasar. Maka menurut pendapat saja sistem itu tidak baik buat negara indonesia yang akan kita bentuk.

Keterangan Prof. Soepomo, yang berisi keberatan atas diberikannya kepada MA untuk menguji undang-undang adalah dalam arti materil yaitu menguji suatu isi undang-undang apakah sesuai atau tidak dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Disamping pengujian secara materil, kita kenal juga pengujian secara formil yaitu pengujian dengan melihat bentuknya. Apakah peraturan hukum itu dibuat melalui prosedur bagaimana mestinya atau tidak. Tentang pengujian yang terakhir ini tidak ada persoalan, karena baik di indonesia maupun dinegara-negara lainnya di mungkinkan.

Adapun keterangan Prof. Soepomo, bahwa hak menguji undang-undang secara materil yang diberikan pada MA ada hubungannya dengan pelaksanaan sistem trias politica, kami kurang dapat menyetujuinya, hanya amerika seriakat yang agak konsekuen melaksanakan trias politica dengan separation of powers nya. Itupun sudah di gerogoti dengan sistem check and balance. Sedangkan negara-negara lain selain AS sudah tidak ada lagi yang mempraktekkan ajaran trias politica itu. Yang dilaksanakan distribution of powers, bukan sparation of powers.

Adapun tentang sifat undang-undang dasar juga memungkinkan penafsiran berbeda-beda, itupun tidak prinsipil atau relevant sehingga menghalangi kemungkinan pengujian secara materil suatu peraturan hukum.
Setiap undang-undang dasar, juga UUD 1945 berlandaskan pokok-pokok pikiran tertentu atau filsafat tertentu. Seluruh tertib hukum yang ada dalam negara harus sesuai dengan apa yang menjadi landasannya. Alangkah janggalnya kalau di negara kita yang berlandaskan pancasila terdapat suatu ketentuan hukum yang bertentangan dengan pancasila.

Kemungkinan pengujian secara materil ini pun tidak berarti selalu bertentangan dengan salah satu fungsi hukum yang bertentangan, yaitu menjamin adanya kepastian hukum. Hal ini bergantung kepada sistem yang dianut. Dalam UUDS 1950, dimana dalam pasal 95 ayat 2 di tetapkan bahwa undang-undang tak dapat diganggu gugat, hal itu cocok dengan sistem yang berlaku. Ketentuan pasal 95 ayat 2 UUDS 1950, berarti : siapapun tak boleh meragukan kebenaran isi suatu undang-undang. Artinya dilarang menguji secara materil atas suatu undang-undang, sedangkan pengujian secara formil boleh.

Seperti kita ketahui bahawa menurut UUDS 1950, undang-undang dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR (pasal 89). Selain itu pemerintah bersama DPR adalah pelaksana kedaulatan rakyat. Dengan perkataan lain, undang-undang dibuat oleh pelaksana kedaulatan rakyat, hakekatnya adalah lembaga tertinggi didalam negara. Oleh karenanya, dapat dimengerti kalau produk dari lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat tak dapat diuji isinya oleh lembaga negara yang lain yang tentunya mempunyai kedudukan yang lebih rendah.

Bagaimana halnya menurut UUDS 1945, undang-undang dibuat oleh pemerintah (presiden) bersama DPR., pelaksana kedaulatan rakyat adalah MPR dengan perkataan lain undang-undang tidak dibuat oleh pelaksana kedaulatan rakyat (lembaga tertinggi) karenanya cocok apabila produk presiden bersama DPR masih dapat diuji oleh lembaga negara lainnya.


Secara prinsipil wewenang ini berada ditangan MPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, lembaga negara tertinggi. Pelaksanaannya mengingat efisiensi dapadt didelegasikan pada orang lain yang kedudukannya sederajat atau lebih tinggi dari presiden dan DPR, misalnya MA.

Persoalan lain, sehubungan dengan jenis peraturan hukum yang berbeda-beda termasuk derajatnya, siapakah yang berhak menguji undang-undang dasar, ketetapan MPR peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden dan lain-lain ?

Sebagai pegangan dapatlah kiranya diambil : bahwa peraturan-peraturan hukum itu dapat diuji oleh lembaga yang sederajat atau lebih tinggi dan yang membuatnya.

B. Pembagian Kekuasaan

Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula di muat dalam penjelasan yang berbunyi : “Negara Indonesia berdasr atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasr atas kekuasaan belaka (Machtstaat)”. Disamping itu ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga di muat dalam penjelasan : “Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak berdasr absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”.

Dengan ketentuan baru ini, maka dasar sebagai negara berdasrkan atas hukum mempunyai sifat normatif, bukan sekedar asas belaka. Sejalan dengan ketentuan-ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kekuasaan kehakiman yang mandiri di angkat dari penjelasan menjadi materi batang tubuh UUD 1945. hal ini akan lebih menguatkan konsep negara hukum indonesia. Hans Kelsen misalnya, dalam kaitan negara hukum yang juga merupakan negara demokratis, mengargumentasikan empat syarat Rechtstaat, yaitu : (1) negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang-undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen. Anggota-anggota parelemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat; (2) negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elit negara; (3) negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; (4) negara yang melindungi hak-hak asasi manusia.

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil amandemen UUD 1945 lebih memberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya negara hukum.
Jaminan konstitusi yang lebih baik atas negara hukum adalah buah reformasi konstitusi di era transisi dari pemerintah otoriter di zaman Suharto. Masa transisi memang bermuka dua, disatu sisi keserbatidakpastian dan keserbamungkinan pasti mengiringi masa transisi. Hasil proses transisi belum tentu negara yang demokratis, tapi tidak jarang reinkarnasi negara otoriterdalam bentuk yang baru. Disisi lain era transisi adalah suatu Golden moment untuk melakukan reformasi konstitusi.

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi dibidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman dengan UU No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dan telah di cabut dengan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Melalui perubahan tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut tekhnis yudisial maupun urusan organisasi, adminstrasi, dan finansial berada dibawah satu atap dibawah kekuasan mahkamah agung. Hal ini di anggap penting dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang menjamin tegaknya negara hukum yang di dukung oleh sistem kekuasaan kehakiman yang Independen dan Impartial.

Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang berpuncak pada mahkamah agung (MA) dan mahkamah Konstitusi (MK). Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasan yang terpisah satu sama lain.

Jika kekuasaan legislatif berpuncak pasa majelis permusyawaratan rakyat (MPR) yang terdiri atas kamar, yaitu DPR dan DPD, cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dapat dipahami mempunyai dua pintu, yaitu Mahkamah Agung dan pintu Mahkamah Konstitusi.






[1]  istilah Hak Uji oleh lembaga peradilan adalah kurang tepat mengingat bahwa semua lembaga peradilan atau penyelenggara kekuasaan kehakiman pada asasnya tidak boleh menolak suatu sengketa yang diajukan kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Makna istilah “hak” dalam kata Hak Uji dapat diartikan sebagai antonym dari kata “kewajiban”. Seharusnya yang tepat adalah menggunakan istilah “Kewenangan Uji” sehingga istilah tersebut menjadi sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

[2] Kekeliruan tersebut sama seringnya terjadi dalam mengalihbahasakan akar negara hukum Indonesia sebagai Rule of Law dan bukan Rechtstaat. Padahal Rule of Law adalah konsep Negara Hukum buatan sistem hukum common law sedangkan negara Indonesia menganut sistem hukum civil law atau eropa kontinental.

[3] .    Fatwawati: Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, penerbit PT. RajaGrafindo Perkasa, 2006, Jakarta, hal. 94.

Komentar

  1. Di Indonesia pengaturan hukum tentang judicial review menjadi suatu hal yang diperdebatkan secara serius sejak founding fathers membicarakan tentang undang-undang dasar yang akan diberlakukan apabila Indonesia telah merdeka. Apakah akan memasukkan judicial review atau tidak dalam konstitusinya. Sepanjang sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, kebebasan kekuasaan kehakiman, selalu mengalami pasang surut, artinya selalu menjadi perdebatan tergantung kondisi sosial politik yang melingkupi sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman.
    Sebelum amandeman, UUD tahun 1945 kewenangan kekuasaan kehakiman (peradilan) berada pada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam pasal 24 UUD tahun 1945. Kewenangan ini yang diatur dalam peraturan perundangan yang lain yaitu Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau antar Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi :
    Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, Pasal 31 UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan dan Pasal 26 UU No 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

    BalasHapus
  2. Hak menguji secara materil terhadap undang-undang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Agung agar peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif dapat diuji apakah sesuai atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan Mahkamah Agung dalam hak menguji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibatasi hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang.
    Implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu PERMA No.1 tahun 1999 yang telah dicabut dengan PERMA No. 1 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 02 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Prosedur/tata cara hak uji materil diatur dalam PERMA, dengan pertimbangan ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengatur hak uji materil tersebut bersifat singkat tanpa mengatur tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan hak uji materil. Seyogyanya hal ini diatur dalam bentuk undang-undang, karena berkaitan dengan masalah hukum acara yang berlaku di Mahkamah Agung dalam fungsi menjalankan peradilan.

    BalasHapus
  3. Setelah mebaca artikel diatas, saya memberikan tanggapan kekuasaan pengadilan atas cabang-cabang non-yudisial. Untuk daya pengadilan atas pengadilan yang lebih rendah, melihat ulasan Banding. Judicial review adalah doktrin di mana tindakan legislatif dan eksekutif akan ditinjau kembali (dan kemungkinan pembatalan) oleh pengadilan. Sebuah pengadilan khusus dengan ulasan kekuasaan kehakiman dapat membatalkan tindakan negara ketika menemukan mereka tidak sesuai dengan otoritas yang lebih tinggi (seperti ketentuan konstitusi tertulis). Judicial review adalah contoh dari check and balances dalam sistem pemerintahan modern (di mana pengadilan memeriksa cabang-cabang lain dari pemerintah). Prinsip ini ditafsirkan berbeda dalam yurisdiksi yang berbeda, yang juga memiliki pandangan yang berbeda-beda pada hirarki yang berbeda dari norma-norma pemerintah. Akibatnya, prosedur dan ruang lingkup judicial review mungkin berbeda dari satu negara ke negara dan negara bagian ke negara.

    BalasHapus
  4. Judicial review adalah contoh dari check and balances dalam sistem pemerintahan modern (di mana pengadilan memeriksa cabang-cabang lain dari pemerintah). Prinsip ini ditafsirkan berbeda dalam yurisdiksi yang berbeda, yang juga memiliki pandangan yang berbeda-beda pada hirarki yang berbeda dari norma-norma pemerintah. Akibatnya, prosedur dan ruang lingkup judicial review mungkin berbeda dari satu negara ke negara dan negara bagian ke negara.

    BalasHapus
  5. Menurut Pendapat Saya
    Dari apa yang ditemukan diatas, kita mengetahui bahwa “niat” dari pembentuk undang-undang dasar 1945 itu tidak menghendaki mahkamah agung mempunyai hak menguji materil. Kalau kita lihat pula dalam undang-undang no. 14 tahun 1970 yaitu undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dimana pada pasal 26 ayat 1 nya menegaskan
    :
    “Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan pertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.”


    A. Mengenai Kekuasaan Kehakiman ( Peradilan ), UUD 1945 menetapkan :

    Pasal 24 :
    1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung
    dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
    2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
    dengan undang-undang
    Pasal 25 : Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai
    hakim ditetapkan dengan undang-undang.

    Negara RI adalah negara hukum, oleh karena itulah hukum harus ditegakkan. Tugas untuk menjamin ketertiban hukum, diserahkan kepada mahkamah agung dengan badan peradilan lainnya. Untuk menjamin objektifited, maka mahkamah agung dan badan peradilan lainnya harus merdeka dari pengaruh kekuasaan lainnya.

    Mahkamah agung merupakan badan peradilan tertinggi, walaupun mahkamah agung bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, bukanlah berarti tidak ada kerja sama antar lembaga-lembaga negara. Mahkamah agung dan lembaga lainnya adalah lembaga negara yang bergerak dilapangan yang bersifat tehnis-yuridis dari semua bidang hukum.

    BalasHapus
  6. saya berpendapat bahwa Judicial review adalah ide, mendasar pada sistem pemerintahan, bahwa tindakan cabang eksekutif dan legislatif pemerintah akan ditinjau dan kemungkinan pembatalan oleh cabang yudikatif. Judicial review memungkinkan Mahkamah Agung untuk mengambil peran aktif dalam memastikan bahwa cabang-cabang lain dari pemerintah mematuhi konstitusi.

    BalasHapus
  7. Seperti kita ketahui bahawa menurut UUDS 1950, undang-undang dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR (pasal 89). Selain itu pemerintah bersama DPR adalah pelaksana kedaulatan rakyat. Dengan perkataan lain, undang-undang dibuat oleh pelaksana kedaulatan rakyat, hakekatnya adalah lembaga tertinggi didalam negara. Oleh karenanya, dapat dimengerti kalau produk dari lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat tak dapat diuji isinya oleh lembaga negara yang lain yang tentunya mempunyai kedudukan yang lebih rendah.

    Bagaimana halnya menurut UUDS 1945, undang-undang dibuat oleh pemerintah (presiden) bersama DPR., pelaksana kedaulatan rakyat adalah MPR dengan perkataan lain undang-undang tidak dibuat oleh pelaksana kedaulatan rakyat (lembaga tertinggi) karenanya cocok apabila produk presiden bersama DPR masih dapat diuji oleh lembaga negara lainnya.

    BalasHapus
  8. Dilihat dari pengertian saya berpendapat bahwa Judicial review adalah jenis proses peradilan di mana hakim ulasan keabsahan suatu keputusan atau tindakan yang dibuat oleh badan publik. Dengan kata lain, judicial review adalah tantangan untuk cara di mana keputusan telah dibuat, dan bukan hak dan kesalahan dari kesimpulan. Hal ini tidak benar-benar peduli dengan kesimpulan dari proses itu dan apakah mereka adalah 'benar', asalkan prosedur yang benar telah diikuti. Pengadilan tidak akan menggantikan apa yang dianggapnya adalah keputusan 'benar'. Ini mungkin berarti bahwa badan publik akan dapat membuat keputusan yang sama lagi, asalkan ia melakukannya dengan cara yang halal.

    BalasHapus
  9. Dari artikel di atas saya dapat mengambil kesimpulan pertama, MA dan MK memiliki tugas masing-masing dalam hak menguji, MA memiliki hak menguji secara materil berupa judicial review yaitu menguji peraturan dibawah undang-undang agar tidak bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan MK memiliki hak menguji secara materil berupa constitusional review yaitu menguji setiap peraturan perundangan dibawah undang-undang dasar agar tidak bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Yang kedua, Judicial review berlaku jika pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (generan and abstract norms) secara "a posterior" artinya norma hukum tersebut telah diundangkan oleh pembentuk Undang-Undang.

    BalasHapus
  10. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shusho Miyahira, Perwira Jepang yang Berbalik Berjuang Buat Indonesia Oleh Kurator Kata | Newsroom Blog  –  Sen, 25 Agu 2014   Ragi Carita 2 Berbagai buku bertema sejarah, biografi, maupun memoar yang terbit di Indonesia menyebut, jauh sebelum masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, sudah banyak orang Jepang di Hindia Belanda. Sebagian ternyata mata-mata Jepang yang memang merencanakan merebut Indonesia dari penguasaan Belanda. Sudah menjadi anggapan umum juga bahwa penindasan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, meski lebih singkat dari Belanda, justru lebih berat. Ternyata salah satu mata-mata yang dikirim Jepang, Shusho Miyahira, tak setuju dengan gaya pendudukan negaranya di Indonesia. Miyahira akhirnya berbalik membela Indonesia. Kisah Miyahira ini ditulis dalam buku Ragi Carita 2 yang ditulis Th. van den End dan J. Weitjens. Berikut ini nukilan buku itu: Shusho Miyahira selama 12 tahun menetap di Surabaya sejak 1927. Di masa pendudukan Belanda i

Magang Calon Advokat

Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat Satu di antara persyaratan yang harus dilalui untuk menjadi advokat adalah mengikuti magang selama 2 (dua) tahun terus-menerus di kantor advokat. Persyaratan Kantor Advokat yang Menerima Magang Calon Advokat Kantor Advokat yang dapat menerima magang adalah Kantor Advokat yang memenuhi syarat-syarat di bawah ini: a. Didirikan oleh seorang atau lebih Advokat yang telah terdaftar dalam Buku Daftar Anggota PERADI; b. Tersedianya Advokat yang dapat menjadi Advokat pendamping (“Advokat Pendamping”) untuk para Calon Advokat yang menjalankan magang; c. Bersedia menerbitkan surat keterangan magang (“Surat Keterangan Magang” –Contoh terlampir sebagai Lampiran 1) yang isinya menjelaskan bahwa Calon Advokat telah menjalani magang di Kantor Advokat dan menerangkan jangka waktu magang Calon Advokat; d. Bersedia memberikan bukti-bukti bahwa Calon Advokat telah menjalani magang di Kantor Advokat; e. Bersedia membuat laporan berkala tentang p