Langsung ke konten utama

Pendapat Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber dalam Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

JAKARTA, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber dalam Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Paralegal Angkatan IX yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (Lembakum) Anak Negeri, pada Ahad (7/11/2021) secara daring.

Dalam paparannya, Aswanto mengatakan, dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945) ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dalam arti rechtsstaat. Namun perkembangannya, tidak hanya rechtsstaat kemudian bergeser ke rule of law. “Antara rule of law dan rechtsstaat sama tetapi secara filosofi terdapat perbedaan-perbedaan mendasar,” ujarnya.

Dikatakan Aswanto, UUD 1945 sudah menentukan Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sebagai konsekuensi negara kesatuan yang berbentuk Republik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, maka kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Lebih Lanjut Aswanto mengatakan, Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.  “Jadi inilah rentetan-rentetan yang merupakan satu kesatuan bahwa kita adalah negara Republik, Negara Republik itu Negara Kesatuan dan Negara Kesatuan itu dilandasi oleh hukum,  sehingga kita menjadi negara yang harus berdasarkan prinsip hukum,” tegasnya.

Menurut Aswanto, dalam kalangan ilmuwan, dikenal dengan dua istilah prinsip negara hukum, yakni the rule of law dan rechtsstaat. The rule of law lazim digunakan  dalam negara-negara Anglo Saxon dengan common law system. Sedangkan rechtsstaat populer di negara-negara Eropa kontinental dengan civil  law system.

“Kebetulan karena Konsep negara hukum kita jelas tercantum dalam salah satu kalimat pada alinea empat yang menyatakan ‘...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,...’.  Maka kalimat tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia merdeka akan dijalankan berdasarkan hukum,” papar Aswanto.

UUD 1945, Hukum Tertinggi

Dalam hal ini, sambung Aswanto, UUD 1945 sebagai aturan hukum tertinggi. Konsep negara hukum tersebut untuk membentuk pemerintahan negara yang bertujuan, baik untuk melindungi HAM secara individual maupun kolektif yang tercermin dalam kalimat “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...” sebagai tujuan nasional.

Selain itu, Aswanto juga membahas peranan Pancasila sebagai margin of appreciation yang mengendalikan kontekstualisasi dan implementasinya. Menurut Aswanto, hal tersebut telah terjadi pada saat dimantapkan dalam Pembukaan UUD 1945, pada saat 4 kali proses amandemen, saat merumuskan HAM dalam hukum positif Indonesia dan  saat proses internal, ketika the founding fathers menentukan urutan Pancasila.

Aswanto juga menjelaskan bahwa pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM), materi mengenai HAM yang masuk dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dibagi ke dalam beberapa aspek, yakni HAM berkaitan dengan kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan, kebebasan bersikap, berpendapat, dan berserikat. HAM berkaitan dengan informasi dan komu­nikasi; HAM berkaitan dengan rasa aman dan perlin­dungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. HAM berkaitan dengan kesejahteraan sosial. HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan dan HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.(*)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shusho Miyahira, Perwira Jepang yang Berbalik Berjuang Buat Indonesia Oleh Kurator Kata | Newsroom Blog  –  Sen, 25 Agu 2014   Ragi Carita 2 Berbagai buku bertema sejarah, biografi, maupun memoar yang terbit di Indonesia menyebut, jauh sebelum masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, sudah banyak orang Jepang di Hindia Belanda. Sebagian ternyata mata-mata Jepang yang memang merencanakan merebut Indonesia dari penguasaan Belanda. Sudah menjadi anggapan umum juga bahwa penindasan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, meski lebih singkat dari Belanda, justru lebih berat. Ternyata salah satu mata-mata yang dikirim Jepang, Shusho Miyahira, tak setuju dengan gaya pendudukan negaranya di Indonesia. Miyahira akhirnya berbalik membela Indonesia. Kisah Miyahira ini ditulis dalam buku Ragi Carita 2 yang ditulis Th. van den End dan J. Weitjens. Berikut ini nukilan buku itu: Shusho Miyahira selama 12 tahun menetap di Surabaya sejak 1927. Di masa pendud...

Hak menguji perundangan-undangan

Hak Menguji Perundang-undangan HAK MENGUJI suatu peraturan perundang-undangan tentu sudah pernah terdengar di telinga  para pembaca sekalian. Apalagi dengan maraknya berbagai permasalahan hukum dewasa ini, dimana "Hak Menguji" ini digunakan para pihak yang berkepentingan dalam mengkritisi peraturan perundangan yang dinilai menyimpang. Seperti apa penyimpangan dimaksud? dan apa itu hak menguji? Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya. Dari beberapa sumber yang saya dapat, hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu: 1. Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara pengundanganya sudah sebagaimana mestinya. Secara singkat H...

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE)

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE)     1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE) Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.   a. Pasal 27 UU ITE tahun 2008 : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan . Ancaman pidana pasal 45(1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling b...