Langsung ke konten utama

Gambaran Umum Mahkamah Konstitusi


Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 merupakan salah satu agenda reformasi yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat  dan kekuatan sosial politik yang didasarkan pada pandangan bahwa dalam Undang-undang Dasar 1945 belum cukup membuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat penting dan mendasar. Perubahan tersebut merupakan hasil amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang telah dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999 hingga tahun 2002. Latar belakang perubahan tersebut didasarkan dari adanya kehendak rakyat untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan sistem cheks and balances yang setara dan seimbang diantara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia.
Salah satu hasil perubahaan Ketiga Undang-undang Dasar 1945, yang disahkan pada 10 Agustus 2002 adalah pembentukan embaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara.
Mahkamah Konstusi yang telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kewenangan dan kewajiban sebagai dimaksud dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945 yang kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mangadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final yang salah satunya adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945.
Perlu diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 pada kenyataannya masih memiliki problem, karena pengaturannya masih bersifat umum, tidak rinci dan tidak lengkap terutama mengenai hukum acaranya, sehingga Mahkamah Konstitusi dapat mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan yang diajukan kepadanya apalagi Mahkamah Konstitusi merupakan benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan.
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut  Undang-Undang ini.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
86 dan oleh karena hukum acaranya belum rinci dan belum lengkap diatur dalm Undang-undang  Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/ PMK/ 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-undang yang telah ditetapkan pada tanggal 27 Juni 2005 untuk melengkapi hal-hal yang belum diatur didalamnya.
Dengan bertitik tolak dari hasil pengkajian terhadap Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/ PMK/ 2005 ternyata masih terdapat kekurangan materinya sehingga kesulitan penerapan di dalam praktik sering terjadi dalam proses beracara di Mahkamah untuk perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945, masih menimbulkan problem karena terdapat perkembangan pemikiran yang dirasakan belum cukup diatur dan perlu dituangkan dalam peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/ PMK/ 2005.
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi juga merupakan salah satu lembaga Negara yang keberadaan dan kewenangannya diatur dalm UUD 1945.
Kekuasaaan kehakiman yang merdeka dapat diartikan sebagai kemandirian (independensi) sehingga kemandirian dalam melakukan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip penting dalam negara Demokrasi dan juga merupakan salah satu syarat dan cirri penting dalam lembaga negara huskum disamping adanya asas legalitas dimana pemerintah harus bertindak semata-mata berdasarkan hukum yang berlaku, adanya jaminan perlindungan Hak asasi Manusia, dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi dan hukum dasar.
Pentingnya kemandirian kekuasaan kehakiman in casu Mahkamah Konstitusi dan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil sehingga harus ditegaskan dan dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Amandemen Ketiga.
Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi atau dikenal sebagai The Guardian of The Constitution” yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atau berfungsi untuk menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin konstitusi agar dihormati dan dijalankan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagi penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewrnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.
Dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang merdeka, peningkatan citra dan wibawa Mahkmah Konstitusi, serta peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkmah Konstitusi, ditengah-tengah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan, Mahkmah Konstitusi dalam melaksanakan amanah UUD 1945 direfleksikan dalam putusan-putusannya dengan kemandirian (independensi) dari 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, meskipun Hakim Konstitusi yang telah ditetapkan oleh Presiden, masing-masing diajukan 3(tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3(tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), dan 3(tiga) orang oleh Presiden.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shusho Miyahira, Perwira Jepang yang Berbalik Berjuang Buat Indonesia Oleh Kurator Kata | Newsroom Blog  –  Sen, 25 Agu 2014   Ragi Carita 2 Berbagai buku bertema sejarah, biografi, maupun memoar yang terbit di Indonesia menyebut, jauh sebelum masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, sudah banyak orang Jepang di Hindia Belanda. Sebagian ternyata mata-mata Jepang yang memang merencanakan merebut Indonesia dari penguasaan Belanda. Sudah menjadi anggapan umum juga bahwa penindasan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, meski lebih singkat dari Belanda, justru lebih berat. Ternyata salah satu mata-mata yang dikirim Jepang, Shusho Miyahira, tak setuju dengan gaya pendudukan negaranya di Indonesia. Miyahira akhirnya berbalik membela Indonesia. Kisah Miyahira ini ditulis dalam buku Ragi Carita 2 yang ditulis Th. van den End dan J. Weitjens. Berikut ini nukilan buku itu: Shusho Miyahira selama 12 tahun menetap di Surabaya sejak 1927. Di masa pendud...

Hak menguji perundangan-undangan

Hak Menguji Perundang-undangan HAK MENGUJI suatu peraturan perundang-undangan tentu sudah pernah terdengar di telinga  para pembaca sekalian. Apalagi dengan maraknya berbagai permasalahan hukum dewasa ini, dimana "Hak Menguji" ini digunakan para pihak yang berkepentingan dalam mengkritisi peraturan perundangan yang dinilai menyimpang. Seperti apa penyimpangan dimaksud? dan apa itu hak menguji? Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya. Dari beberapa sumber yang saya dapat, hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu: 1. Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara pengundanganya sudah sebagaimana mestinya. Secara singkat H...

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE)

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE)     1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE) Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.   a. Pasal 27 UU ITE tahun 2008 : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan . Ancaman pidana pasal 45(1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling b...