Menurut penjelasan Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA pada
Rabu, 23 Januari 2013 bahwa MA mengabulkan rekomendasi pemakzulan
(pemberhentian) Bupati Garut HM Aceng Fikri yang dimohonkan DPRD Garut.
Aceng dinilai melanggar sumpah jabatan sebagai kepala daerah karena
melanggar etika dan peraturan perundang-undangan. Karenanya, pemakzulan
Aceng dinilai sah secara hukum.
Saya belum baca putusan MA tersebut, tetapi penjelasan resmi dari
Kepala Biro Hukum dan Humas MA tersebut kiranya patut dipercaya. Yang
patut dipercaya bahwa putusan MA menetapkan bahwa pemakzulan Aceng Fikri
dari jabatannya selaku Bupati Garut dinilai sah secara hukum. Alasan
hukumnya bahwa Aceng Fikri dinilai telah melanggar sumpah jabatan
sebagai kepala daerah karena melanggar etika dan peraturan
perundang-undangan.
Bagaimanakah bunyi sumpah jabatan itu? Pasal 110 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerahdengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
Rumusan di atas dapat dipahami bahwa Aceng Fikri, ketika dilantik
menjadi Bupati Garut telah mengucapkan sumpah/janji bahwa dia akan
memenuhi kewajibannya sebagai Bupati Garut dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Pemenuhan kewajiban tersebut menurut MA tidak dapat
dipisahkan antara kewajiban sebagai pribadi maupun kewajiban sebagai
Bupati. Dengan demikian maka kewajiban Aceng Fikri untuk hidup
berkeluarga termasuk melakukan pernikahan dan perceraian pun harus
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Jika tidak, maka ia dapat dinilai
melanggar sumpah jabatan.
Pertanyaannya sekarang adalah apa ukuran pemenuhan kewajiban yang
dikategorikan sebagai sebaik-baiknya dan seadil-adilnya itu? Memang
ukuran baik dan adil adalah sangat relatif, artinya mungkin Aceng Fikri
menilai perbuatannya sendiri baik dan adil, tetapi istrinya mungkin saja
menilai perbuatan suaminya itu tidak baik dan tidak adil. Oleh karena
itu ukuran yang harus dipakai adalah pihak ketiga, yaitu rasa keadilan
masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Garut. Rasa keadilan
masyarakat itulah syarat bagi setiap putusan hakim, mulai dari hakim
pengadilan negeri sampai MA.
Kebenaran faktual dari berbagai media massa, baik media cetak maupun
elektronik, baik media domestik maupun luar negeri, bahwa perbuatan
Aceng Fikri menceraikan Fany Octora, istrinya, dalam tempo empat hari
setelah pernikahan, melalui sms, adalah perbuatan yang tidak baik dan
tidak adil.
Ini yang dikatakan sebagai pelanggaran norma etika secara umum,
khususnya norma sopan santun sebagaimana dalam bahasa Inggris disebut “a pleasant living together” atau dalam bahasa Belanda disebut “het uitwendig verkeer onder de mensen te verijnen, te veraangenamen” (Pernadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1979: 26). Mungkin fakta ini yang memperkuat keyakinan hajelis hakim MA untuk mengabulkan rekomendasi pemakzulan tersebut.
Hal yang kedua dari bunyi sumpah/janji jabatan Bupati tersebut di atas adalah “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Dalam kaitannya dengan kasus Aceng Fikri tersebut, undang-undang yang dimaksud antara lain adalah UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa
perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perkawinan Aceng Fikri dan Fany Octora betapapun sah menurut hukum
agama Islam, tetapi tidak dicatatkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga disebut “Nikah Sirri”. Kata “sirri”
dalam bahasa Arab berarti “menyembunyikan”. Jadi pernikahan Aceng Fikri
dan Fany Octora dapat dikatakan pernikahan tersembunyi di hadapan
negara, karena tidak tercatat pada Kantor Catatan Pernikahan.
Hal itu membuktikan bahwa Aceng Fikri tidak menjalankan Pasal 2 UU No. 1
Tahun 1974 dengan selurus-lurusnya. Seandainya pernikahan mereka
dicatatkan pada Kantor Pencatat Pernikahan, maka pernikahan mereka
bukanlah “Nikah Sirri” melainkan “Nikah Syiar” yaitu pernikahan yang sah dan terbuka menurut agama Islam maupun menurut negara.
Selain itu, menurut Pasal 25 dan 39 UU No. 1 Tahun 1974, pembatalan
perkawinan atau perceraian harus dilakukan dengan cara mengajukan
permohonan/gugatan kepada Pengadilan Agama. Sedangkan Aceng Fikri
menceraikan istrinya, Fany Octora, melalui sms, jadi Aceng Fikri telah
tidak menjalankan UU No. 1 Tahun 1974 selurus-lurusnya. Dengan demikian
cukup beralasan bagi majelis hakim MA memutuskan Aceng Fikri dapat
dimakzulkan dari jabatan Bupati Garut.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 29 ayat (4) huruf c bahwa
putusan MA mengenai perkara pemakzulan tersebut bersifat final. Hal ini
berarti bahwa tidak ada upaya hukum lain untuk meninjau kembali putusan
MA tersebut. Apakah dengan demikian lantas DPRD Garut harus menyampaikan
permohonan kepada Presiden untuk memakzulkan Aceng Fikri dari jabatan
Bupati Garut, dan Presiden juga harus mengabulkan permohonan DPRD Garut?
Kiranya tidak semudah itu. Prosesnya masih dua tahap lagi, yaitu
mekanisme berdasarkan putusan MARI tersebut, DPRD mengadakan rapat
paripurna dengan korum ¾ jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
jumlah suara 2/3 jumlah yang hadir untuk mengajukann usulan pemakzulan
kepada Presiden. Tahap terakhir Presiden yang menghambil keputusan untuk
memakzulkan atau tidak memakzulkan.
Lantas apa arti final pada putusan MA? Jika mekanisme pemakzulan Kepala
Daerah dengan melibatkan tiga lembaga, yaitu DPRD, MA, dan Presiden,
dibandingkan dengan mekanisme pemakzulan Presiden yang juga melibatkan
tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR, sebagaimana diatur pada Pasal 7B
dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, maka baik putusan MA
maupun MK selalu bersifat final, artinya langsung mengikat bagi DPRD,
atau DPR. Artinya bahwa apabila MA atau MK menyetujui pemakzulan,
putusan tersebut hanya final terhadap pembuktian apakah tindakan Kepala
Daerah atau Presiden memenuhi unsur perbuatan pidana dalam arti actus reus atau tidak.
MA dan MK tidak membuktikan unsur-unsur kesalahannya (mens rea). Unsur-unsur kesalahan (mens rea)
adalah kewenangan Presiden dalam hal pemakzulan Kepala Daerah, atau
kewenangan MPR dalam hal pemaksulan Presiden, untuk membuktikannya
(Hamdan Zoelfa, 2011: 25-26).
Khusus terhadap kasus Aceng Fikri, MA memang sudah memutus untuk dapat
dimakzulkan, dan putusan itu mengikat bagi DPRD Garut bahwa unsur pidana
(actus reus) sudah terbukti. Akan tetapi unsur kesalahan (mens rea) belum terbukti. Untuk itu DPRD Kabupaten Garut harus bersidang paripurna guna mengusulkan pembuktian mens rea kepada Presiden.
Hambatan yang dihadapi DPRD Kabupaten Garut adalah persoalan politik
untuk menghadirkan minimal ¾ jumlah anggota DPRD dan pengambilan
keputusan yang disetujui oleh 2/3 jumlah anggota yang hadir agar usulan mens rea itu diajukan kepada Presiden.
Selama korum ini belum tercapai, betapapun actus reus sudah
terbukti, Aceng Fikri tidak dapat dimakzulkan. Seandainya tercapai korum
dan DPRD Kabupaten Garut berhasil mengajukan pembuktian mens rea kepada Presiden, hingga saat ini belum ada hukum acara tentang mekanisme pembuktian mens rea tersebut.
Oleh karena itu untuk menggiring Aceng Fikri sampai kepada putusan
pemakzulan, masih menempuh jalan yang panjang dan berliku-liku, serta
membutuhkan persiapan mekanisme pembuktian di tingkat Presiden yang baru
sekali ini dalam perkembangan sejarah Indonesia.
Komentar
Posting Komentar