Langsung ke konten utama
Rabu, 06 Pebruari 2013
Apakah Bupati Garut Aceng Fikri dapat Dimakzulkan?

Oleh: Dr. Max Boli Sabon, S.H., M.Hum *) 
Dosen Hukum Otonomi Daerah, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta
 
Menceraikan istri sirri melalui sms, berarti Aceng Fikri tidak menjalankan 
UU No. 1 Tahun 1974 selurus-lurusnya.

Menurut penjelasan Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA pada Rabu, 23 Januari 2013 bahwa MA mengabulkan rekomendasi pemakzulan (pemberhentian) Bupati Garut HM Aceng Fikri yang dimohonkan DPRD Garut. Aceng dinilai melanggar sumpah jabatan sebagai kepala daerah karena melanggar etika dan peraturan perundang-undangan. Karenanya, pemakzulan Aceng dinilai sah secara hukum. 
Saya belum baca putusan MA tersebut, tetapi penjelasan resmi dari Kepala Biro Hukum dan Humas MA tersebut kiranya patut dipercaya. Yang patut dipercaya bahwa putusan MA menetapkan bahwa pemakzulan Aceng Fikri dari jabatannya selaku Bupati Garut dinilai sah secara hukum. Alasan hukumnya bahwa Aceng Fikri dinilai telah melanggar sumpah jabatan sebagai kepala daerah karena melanggar etika dan peraturan perundang-undangan.
Bagaimanakah bunyi sumpah jabatan itu? Pasal 110 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sebagai berikut:
Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerahdengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
Rumusan di atas dapat dipahami bahwa Aceng Fikri, ketika dilantik menjadi Bupati Garut telah mengucapkan sumpah/janji bahwa dia akan memenuhi kewajibannya sebagai Bupati Garut dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Pemenuhan kewajiban tersebut menurut MA tidak dapat dipisahkan antara kewajiban sebagai pribadi maupun kewajiban sebagai Bupati. Dengan demikian maka kewajiban Aceng Fikri untuk hidup berkeluarga termasuk melakukan pernikahan dan perceraian pun harus sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Jika tidak, maka ia dapat dinilai melanggar sumpah jabatan.
Pertanyaannya sekarang adalah apa ukuran pemenuhan kewajiban yang dikategorikan sebagai sebaik-baiknya dan seadil-adilnya itu? Memang ukuran baik dan adil adalah sangat relatif, artinya mungkin Aceng Fikri menilai perbuatannya sendiri baik dan adil, tetapi istrinya mungkin saja menilai perbuatan suaminya itu tidak baik dan tidak adil. Oleh karena itu ukuran yang harus dipakai adalah pihak ketiga, yaitu rasa keadilan masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Garut. Rasa keadilan masyarakat itulah syarat bagi setiap putusan hakim, mulai dari hakim pengadilan negeri sampai MA.
Kebenaran faktual dari berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, baik media domestik maupun luar negeri, bahwa perbuatan Aceng Fikri menceraikan Fany Octora, istrinya, dalam tempo empat hari setelah pernikahan, melalui sms, adalah perbuatan yang tidak baik dan tidak adil.
Ini yang dikatakan sebagai pelanggaran norma etika secara umum, khususnya norma sopan santun sebagaimana dalam bahasa Inggris disebut “a pleasant living together” atau dalam bahasa Belanda disebut “het uitwendig verkeer onder de mensen te verijnen, te veraangenamen” (Pernadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1979: 26). Mungkin fakta ini yang memperkuat keyakinan hajelis hakim MA untuk mengabulkan rekomendasi pemakzulan tersebut.
 Hal yang kedua dari bunyi sumpah/janji jabatan Bupati tersebut di atas adalah “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Dalam kaitannya dengan kasus Aceng Fikri tersebut, undang-undang yang dimaksud antara lain adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan Aceng Fikri dan Fany Octora betapapun sah menurut hukum agama Islam, tetapi tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga disebut “Nikah Sirri”. Kata “sirri” dalam bahasa Arab berarti “menyembunyikan”. Jadi pernikahan Aceng Fikri dan Fany Octora dapat dikatakan pernikahan tersembunyi di hadapan negara, karena tidak tercatat pada Kantor Catatan Pernikahan.
Hal itu membuktikan bahwa Aceng Fikri tidak menjalankan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 dengan selurus-lurusnya. Seandainya pernikahan mereka dicatatkan pada Kantor Pencatat Pernikahan, maka pernikahan mereka bukanlah “Nikah Sirri” melainkan “Nikah Syiar” yaitu pernikahan yang sah dan terbuka menurut agama Islam maupun menurut negara.
Selain itu, menurut Pasal 25 dan 39 UU No. 1 Tahun 1974, pembatalan perkawinan atau perceraian harus dilakukan dengan cara mengajukan permohonan/gugatan kepada Pengadilan Agama. Sedangkan Aceng Fikri menceraikan istrinya, Fany Octora, melalui sms, jadi Aceng Fikri telah tidak menjalankan UU No. 1 Tahun 1974 selurus-lurusnya. Dengan demikian cukup beralasan bagi majelis hakim MA memutuskan Aceng Fikri dapat dimakzulkan dari jabatan Bupati Garut.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 29 ayat (4) huruf c bahwa putusan MA mengenai perkara pemakzulan tersebut bersifat final. Hal ini berarti bahwa tidak ada upaya hukum lain untuk meninjau kembali putusan MA tersebut. Apakah dengan demikian lantas DPRD Garut harus menyampaikan permohonan kepada Presiden untuk memakzulkan Aceng Fikri dari jabatan Bupati Garut, dan Presiden juga harus mengabulkan permohonan DPRD Garut? Kiranya tidak semudah itu. Prosesnya masih dua tahap lagi, yaitu mekanisme berdasarkan putusan MARI tersebut, DPRD mengadakan rapat paripurna dengan korum ¾ jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan jumlah suara 2/3 jumlah yang hadir untuk mengajukann usulan pemakzulan kepada Presiden. Tahap terakhir Presiden yang menghambil keputusan untuk memakzulkan atau tidak memakzulkan.
Lantas apa arti final pada putusan MA? Jika mekanisme pemakzulan Kepala Daerah dengan melibatkan tiga lembaga, yaitu DPRD, MA, dan Presiden, dibandingkan dengan mekanisme pemakzulan Presiden yang juga melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR, sebagaimana diatur pada Pasal 7B dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, maka baik putusan MA maupun MK selalu bersifat final, artinya langsung mengikat bagi DPRD, atau DPR. Artinya bahwa apabila MA atau MK menyetujui pemakzulan, putusan tersebut hanya final terhadap pembuktian apakah tindakan Kepala Daerah atau Presiden memenuhi unsur perbuatan pidana dalam arti actus reus atau tidak.
MA dan MK tidak membuktikan unsur-unsur kesalahannya (mens rea). Unsur-unsur kesalahan (mens rea) adalah kewenangan Presiden dalam hal pemakzulan Kepala Daerah, atau kewenangan MPR dalam hal pemaksulan Presiden, untuk membuktikannya (Hamdan Zoelfa, 2011: 25-26).
Khusus terhadap kasus Aceng Fikri, MA memang sudah memutus untuk dapat dimakzulkan, dan putusan itu mengikat bagi DPRD Garut bahwa unsur pidana (actus reus) sudah terbukti. Akan tetapi unsur kesalahan (mens rea) belum terbukti. Untuk itu DPRD Kabupaten Garut harus bersidang paripurna guna mengusulkan pembuktian mens rea kepada Presiden.
Hambatan yang dihadapi DPRD Kabupaten Garut adalah persoalan politik untuk menghadirkan minimal ¾ jumlah anggota DPRD dan pengambilan keputusan yang disetujui oleh 2/3 jumlah anggota yang hadir agar usulan mens rea itu diajukan kepada Presiden.
Selama korum ini belum tercapai, betapapun actus reus sudah terbukti, Aceng Fikri tidak dapat dimakzulkan. Seandainya tercapai korum dan DPRD Kabupaten Garut berhasil mengajukan pembuktian mens rea kepada Presiden, hingga saat ini belum ada hukum acara tentang mekanisme pembuktian mens rea tersebut.
Oleh karena itu untuk menggiring Aceng Fikri sampai kepada putusan pemakzulan, masih menempuh jalan yang panjang dan berliku-liku, serta membutuhkan persiapan mekanisme pembuktian di tingkat Presiden yang baru sekali ini dalam perkembangan sejarah Indonesia.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shusho Miyahira, Perwira Jepang yang Berbalik Berjuang Buat Indonesia Oleh Kurator Kata | Newsroom Blog  –  Sen, 25 Agu 2014   Ragi Carita 2 Berbagai buku bertema sejarah, biografi, maupun memoar yang terbit di Indonesia menyebut, jauh sebelum masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, sudah banyak orang Jepang di Hindia Belanda. Sebagian ternyata mata-mata Jepang yang memang merencanakan merebut Indonesia dari penguasaan Belanda. Sudah menjadi anggapan umum juga bahwa penindasan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, meski lebih singkat dari Belanda, justru lebih berat. Ternyata salah satu mata-mata yang dikirim Jepang, Shusho Miyahira, tak setuju dengan gaya pendudukan negaranya di Indonesia. Miyahira akhirnya berbalik membela Indonesia. Kisah Miyahira ini ditulis dalam buku Ragi Carita 2 yang ditulis Th. van den End dan J. Weitjens. Berikut ini nukilan buku itu: Shusho Miyahira selama 12 tahun menetap di Surabaya sejak 1927. Di masa pendud...

Hak menguji perundangan-undangan

Hak Menguji Perundang-undangan HAK MENGUJI suatu peraturan perundang-undangan tentu sudah pernah terdengar di telinga  para pembaca sekalian. Apalagi dengan maraknya berbagai permasalahan hukum dewasa ini, dimana "Hak Menguji" ini digunakan para pihak yang berkepentingan dalam mengkritisi peraturan perundangan yang dinilai menyimpang. Seperti apa penyimpangan dimaksud? dan apa itu hak menguji? Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya. Dari beberapa sumber yang saya dapat, hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu: 1. Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara pengundanganya sudah sebagaimana mestinya. Secara singkat H...

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE)

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE)     1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik (ITE) Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.   a. Pasal 27 UU ITE tahun 2008 : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan . Ancaman pidana pasal 45(1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling b...