Langsung ke konten utama

Mengkritisi Kelemahan UU Pengadilan Anak

Mengkritisi Kelemahan UU Pengadilan Anak

Oleh Ronni

Untuk mengakomodasi penyelenggaraan perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU ini lahir untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka, kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih mantap serta memadai mengenai penyelenggaraan peradilan anak perlu dilakukan secara khusus.

Menurut saya, UU Pengadilan Anak merupakan suatu langkah maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan anak di Indonesia. Namun ada beberapa substansi dalam UU tersebut mengandung 7 (tujuh) kelemahan.

Pertama, berkaitan dengan usia anak nakal. Dalam pasal 1 angka (1) dinyatakan anak nakal adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut saya, batas usia anak tersebut harus diubah dari usia minimal 8 (delapan) tahun menjadi 12 (dua belas) tahun. Sebab pada usia tersebut anak-anak tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan sidang peradilan anak atas tindak pidana yang dilakukannya. Tetapi harus melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak tersebut ke arah lebih baik.

Kedua, istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Dalam UU Pengadilan Anak disebutkan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini berbeda sekali dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana.

Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan. Untuk itu istilah anak nakal yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak harus diganti dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak.

Ketiga, penahanan terhadap anak nakal. Dalam pasal 44 ayat (6) dinyatakan penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara, atau di tempat tertentu. Menurut saya, penahanan terhadap anak nakal tersebut seharusnya tidak menempatkannya di Rumah Tahanan Negara, tetapi menempatkannya pada panti-panti sosial yang disediakan oleh pemerintah dalam hal ini Depertemen Sosial.

Sebab tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sedangkan penahanan anak melalui Rumah Tahanan Negara dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang masih lemah dan rentan. Selain itu juga menimbulkan stigma yang jelek terhadap anak tersebut.

Keempat, struktur dan kedudukan peradilan anak. Dalam Pasal 2 UU Pengadilan Anak dinyatakan Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut saya, hendaknya peradilan anak itu menjadi badan peradilan yang secara struktur hukum maupun kedudukannya sebagai lembaga peradilan yang berdiri sendiri di bawah Mahkamah Agung.

Peradilan anak yang dikehendaki adalah peradilan yang berlangsung dari peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat Mahkamah Agung sebagaimana layaknya fungsi peradilan yang ditentukan oleh hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari tujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri. Dimana hakim yang mengadili sidang tindak pidana yang dilakukan oleh anak nakal harus mempunyai minat, perhatian dan dedikasi terhadap masalah anak.

Kelima, tidak adanya UU yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum baik yang berkonflik dengan hukum maupun sebagai korban dari tindak pidana. Perlunya undang-undang yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum.

Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa. Dan secara lebih jauh masalah ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Juga harus dipertimbangkan tingkat kemampuan seorang anak untuk menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya tersebut.

Keenam, tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi ini Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya. Antara lain tidak menahan anak, tetapi menetapkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada negara.

Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Shingga aparat kepolisian tidak menggunakannya kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Ketujuh, tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa. Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan penahanan terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak hukum.

Dari kelemahan-kelemahan UU Pengadilan Anak tersebut, maka pemerintah harus segera merevisi UU ini untuk menciptakan suatu perangkat hukum yang memberikan perlindungan secara maksimal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sebab, anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri. Yaitu korban dari lingkungan budaya yang mengkondisikan anak melakukan tindak pidana itu.

Tentang penulis:
Ronni, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shusho Miyahira, Perwira Jepang yang Berbalik Berjuang Buat Indonesia Oleh Kurator Kata | Newsroom Blog  –  Sen, 25 Agu 2014   Ragi Carita 2 Berbagai buku bertema sejarah, biografi, maupun memoar yang terbit di Indonesia menyebut, jauh sebelum masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, sudah banyak orang Jepang di Hindia Belanda. Sebagian ternyata mata-mata Jepang yang memang merencanakan merebut Indonesia dari penguasaan Belanda. Sudah menjadi anggapan umum juga bahwa penindasan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, meski lebih singkat dari Belanda, justru lebih berat. Ternyata salah satu mata-mata yang dikirim Jepang, Shusho Miyahira, tak setuju dengan gaya pendudukan negaranya di Indonesia. Miyahira akhirnya berbalik membela Indonesia. Kisah Miyahira ini ditulis dalam buku Ragi Carita 2 yang ditulis Th. van den End dan J. Weitjens. Berikut ini nukilan buku itu: Shusho Miyahira selama 12 tahun menetap di Surabaya sejak 1927. Di masa pendudukan Belanda i

Hak menguji perundangan-undangan

Hak Menguji Perundang-undangan HAK MENGUJI suatu peraturan perundang-undangan tentu sudah pernah terdengar di telinga  para pembaca sekalian. Apalagi dengan maraknya berbagai permasalahan hukum dewasa ini, dimana "Hak Menguji" ini digunakan para pihak yang berkepentingan dalam mengkritisi peraturan perundangan yang dinilai menyimpang. Seperti apa penyimpangan dimaksud? dan apa itu hak menguji? Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya. Dari beberapa sumber yang saya dapat, hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu: 1. Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara pengundanganya sudah sebagaimana mestinya. Secara singkat H

1. Pengertian Pemerintahan Daerah Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut : “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD. 2 Penyelenggara Pemerintahan Daerah Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD (Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah). Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekosentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah). Sementara itu, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah). Dengan demikian penyelenggara pemerintah daerah terdiri dari pemerintahan daerah dan DPRD. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah harus mampu mengelola daerahnya sendiri dengan baik dengan penuh tanggung jawab dan jauh dari praktik-praktik korupsi. 3. Hak-hak dan Kewajiban Pemerintahan Daerah Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan otonomi daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak daerah tersebut menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah : 1. Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya 2. Memilih pemimpin daerah 3. Mengelola aparatur daerah 4. Mengelola kekayan daerah 5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah 6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah 7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan 8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Disamping hak-hak tersebut di atas, daerah juga diberi beberapa kewajiban, yaitu : 1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat 3. Mengembangkan kehidupan demokrasi 4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan 5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan 6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan 7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak 8. Mengembangkan sistem jaminan sosial 9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah 10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah 11. Melestarikan lingkungan hidup 12. Mengelola administrasi kependudukan 13. Melestarikan nilai sosial budaya 14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya 15. Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah, yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas-asas yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan keuangan dilakukan secara efisien, efisien, transparan, bertanggungjawab, tertib, adil, patuh, dan taat pada peraturan perundang-undangan ( Rozali Abdullah, 2007 : 27-30). Dengan demikian pemerintah daerah harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah agar penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan baik. 4. Urusan-urusan Pemerintahan Daerah Melalui sistem pemerintahan daerah, pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang diserahkan kepadanya. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi yang merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi : a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/ kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi : a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan dapat memenuhi semua urusan yang menjadi urusan pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten) agar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Daftar Pustaka Rozali Abdullah. 2007. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta : PT Raja Grasindo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah