Langsung ke konten utama

KPK Justru Pertanyakan Konteks Ketua Besar dan Bos Besar

TRIBUNNEWS.COM,  JAKARTA

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan keterkaitan "Ketua Besar" dan "Bos Besar" dalam kasus suap Wisma Atlet sebagaimana yang disampaikan tersangka kasus itu, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD), Muhammad Nazaruddin.

"Ketua Besar atau pimpinan Besar atau yang besar-besar, itu konteksnya apa? Media harus lihat itu, pengakuan itu konteksnya apa. Apakah ada kaitannya dengan kasus yang dituduhkan ke terdakwa Naazaruddin, terkait suap Sesmenpora itu. Semua ngomong Ketua Besar, besar, tapi itu kaitannya apa," ujar Juru bicara KPK, Johan Budi.
Menurut Johan, jika ada keterkaitan dua tokoh yang disebutkan Nazar itu sebagai Ketua dan Bos tersebut bisa dihadirkan jaksa di persidangannya. "Hakim juga bisa minta jaksa untuk menghadirkan. Kalau hakim belum, berarti keterangannya belum diperlukan," katanya.
Sebelum sidang di Pengadilan Tipikor, pada Rabu (4/1/2012) lalu, Nazar mengungkapkan dua pejabat penting yang ia sebut sebagai Ketua dan Bos Besar dan diyakininya terlibat dalam kasus sejumlah proyek di Kemenpora. Menurutnya, Ketua Besar adalah Ketua Banggar dan Bos Besar adalah Ketua Umum PD Anas Urbaningrim.

Kedua kode panggilan untuk kedua pejabat itu digunakan oleh anggota DPR dari PD, Angelina Sondakh, dan Direktur Marketing PT Anak Negeri, Mindo Rosalina Manulang, yang kini juga tengah disidang, dalam percakapan pesan Blackberry Messenger sebagaimana Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) Rosalina. Namun, sebelumnya justru Nazaruddin mengatakan bahwa Ketua Besar itu adalah Wakil Ketua Banggar DPR Nirwan Amir dan Bos Besar adalah Anas.
Karena belum jelas konteksnya, Johan menyatakan KPK belum berencana untuk memeriksa orang-orang yang dimaksud Nazar sebagai Ketua dan Bos Besar tersebut. Ia membantah belum adanya rencana itu dikarenakan KPK trauma "diserang" pihak DPR sebagaimana pemeriksaan empat pimpinan Banggar sebelumnya.

"Saya rasa tidak ada ketakutan itu. Yang ingin saya sampaikan, dalam konteks kasus terdakwa itu, ada kaitannya enggak? Kalau ada pasti dipanggil. Pasti informasi ini akan dipakai penyidik," tukasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shusho Miyahira, Perwira Jepang yang Berbalik Berjuang Buat Indonesia Oleh Kurator Kata | Newsroom Blog  –  Sen, 25 Agu 2014   Ragi Carita 2 Berbagai buku bertema sejarah, biografi, maupun memoar yang terbit di Indonesia menyebut, jauh sebelum masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, sudah banyak orang Jepang di Hindia Belanda. Sebagian ternyata mata-mata Jepang yang memang merencanakan merebut Indonesia dari penguasaan Belanda. Sudah menjadi anggapan umum juga bahwa penindasan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, meski lebih singkat dari Belanda, justru lebih berat. Ternyata salah satu mata-mata yang dikirim Jepang, Shusho Miyahira, tak setuju dengan gaya pendudukan negaranya di Indonesia. Miyahira akhirnya berbalik membela Indonesia. Kisah Miyahira ini ditulis dalam buku Ragi Carita 2 yang ditulis Th. van den End dan J. Weitjens. Berikut ini nukilan buku itu: Shusho Miyahira selama 12 tahun menetap di Surabaya sejak 1927. Di masa pendud...

Hak menguji perundangan-undangan

Hak Menguji Perundang-undangan HAK MENGUJI suatu peraturan perundang-undangan tentu sudah pernah terdengar di telinga  para pembaca sekalian. Apalagi dengan maraknya berbagai permasalahan hukum dewasa ini, dimana "Hak Menguji" ini digunakan para pihak yang berkepentingan dalam mengkritisi peraturan perundangan yang dinilai menyimpang. Seperti apa penyimpangan dimaksud? dan apa itu hak menguji? Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya. Dari beberapa sumber yang saya dapat, hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu: 1. Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) Hak Menguji Secara Formil ( Formele Toetsingrecht ) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara pengundanganya sudah sebagaimana mestinya. Secara singkat H...

Pendapat Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber dalam Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

JAKARTA, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber dalam Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Paralegal Angkatan IX yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (Lembakum) Anak Negeri, pada Ahad (7/11/2021) secara daring. Dalam paparannya, Aswanto mengatakan, dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945) ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dalam arti rechtsstaat . Namun perkembangannya, tidak hanya rechtsstaat kemudian bergeser ke rule of law. “ Antara rule of law dan rechtsstaat sama tetapi secara filosofi terdapat perbedaan-perbedaan mendasar,” ujarnya. Dikatakan Aswanto, UUD 1945 sudah menentukan Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sebagai konsekuensi negara kesatuan yang berbentuk Republik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, maka kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih Lanjut Aswanto mengatakan, Indonesi...